Jaksa diduga tidak profesional dalam menangani sebuah kasus Jiwasraya.
Hal tersebut diungkap Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar merujuk putusan Majelis Hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang membatalkan surat dakwaan JPU terhadap 13 perusahaan Manajemen Investasi (MI) dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya.
Ia menilai putusan hakim tersebut menunjukan bahwa jaksa tidak jeli dalam memisahkan antara pelaku satu perkara dengan perkara lainnya.
“Menurunnya kualitas kejaksaan, tergambar dari putusan yang menyebutkan bahwa ada pencampuran perkara yang berlainan dalam satu perkara,” ujar Fickar kepada wartawan, Rabu 18 Agustus 2021.
Sebelumnya, majelis hakim menilai bahwa perkara ke-13 perusahaan investasi tidak berhubungan satu sama lain sehingga ditengarai akan menyulitkan majelis untuk menilai perbuatan masing-masing terdakwa.
Hakim juga menilai bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada 13 terdakwa tersebut tidak ada sangkut paut dan hubungan satu sama lain.
Majelis hakim pun melihat perkara tersebut menjadi rumit dan bertentangan dengan asas persidangan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Karena keberatan terhadap penggabungan berkas perkara diterima, maka surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum.
Fickar pun mengatakan seharusnya hal itu menjadi perhatian serius Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai pemimpin Kejaksaan. “Karena justru Kejaksaanlah sebagai pimpinan penyelesaian perkara pidana (plurium litis),” kata dia.
Senada, pengamat kejaksaan Kamilov Sagala menilai putusan tersebut bukti menurunnya kualitas Kejaksaan, yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Seharusnya, kata dia, kualitas sumber daya manusia (SDM) di Kejaksaan harus lebih ditingkatkan apalagi seiring meningkatnya renum atau penghargaan atas kinerja Kejaksaan.
“13 identitas itu (manajer investasi) jelas berbeda satu sama lain kok jadi satu? Terkesan ambil jalan mudah saja, atau memang timnya tidak memahami secara detail kasus tersebut, atau ini salah satu modus jaksa menjebak hakim sehingga memutuskan sesuatu yang keliru?” tanya Kamilov.
Kamilov pun memperkirakan adanya kemungkinan jaksa kurang teliti dan cakap dalam menyusun dakwaan. Karena dalam suatu persidangan penyusunan dakwaan selain bukti-bukti ada strategi lainnya.
“Tetapi kejadian ini menunjukan kinerja Jaksa gagal dan tentu para hakim dengan jam terbang tinggi dengan mudah akan menyadari hal-hal seperti itu. Semoga semua penegak hukum bekerja dengan hati nurani kebenaran yang hakiki,” kata dia.
Sementara Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia periode 2011-2015, Halius Hosen merasa malu terkait kekalahan jaksa di persidangan tersebut. Rasa malu itu muncul akibat kecerobohan luar biasa yang dilakukan jaksa penuntut umum dalam kasus Jiwasraya.
“Di mana lagi letak profesionalisme Kejaksaan? Sudah jelas perkara satu dengan lainnya yang tak ada kaitannya sama sekali dengan jumlah yang sangat banyak, yaitu 13 manajer investasi digabungkan perkaranya. Jelas, kapasitas hakim untuk mengabulkan eksepsi adalah hal yang tepat,” ujarnya.
“Saya tidak tahu apakah proses penyelesaian penyidikan dan pra-penuntutan yang selama ini dipegang teguh sebagai acuan dalam proses tersebut masih berlaku, atau sudah tidak lagi diperlukan. Padahal perkara ini termasuk perkara penting dan menarik perhatian masyarakat,” kata dia lagi.
Sebabnya, Halius pun meminta Jaksa Agung memerintahkan eksaminasi kasus ini. “Saya kira Jaksa Agung perlu memerintahkan eksaminasi agar semua pejabat kejaksaan bisa mempertanggung jawabkan tupoksinya. Jaksa itu ‘een ondeelbaar’ jadi jaksa itu satu dan tak terpisahkan, saya harap Jaksa Agung ingat itu! Kasus ini seperti mengamini hasil survei yang mengatakan kinerja kejaksaan kian buruk,” ujarnya.
Leave a Reply